Penguatan Kapasitas Pemilih Pemula dalam Kontestasi Politik
Posisi pemilih pemula dalam konstestasi politik masih di posisikan sebagai objek dala mperebutan suara partai politik. Meski saat ini jumlahnya besar dan signifikan, tetapi pendekatan partai kepada pemilih pemula masih sporadis dan tidak memberdayakan. Padahal kalua kita melihat potensi suara pemili pemula dalam setiap kontestasi politik selalu menjadi salah satu pemilih menentukan. Secara historis, kaum muda merupakan kelompok masyarakat yang turut menentukan perjalanan bangsa ini. Nyaris tidak ada tonggak Sejarah republik ini yang menafikan peran kaum muda. Tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978 hingga peristiwa reformasi 1998, menjadi penanda peran nyata kaum muda di republik ini.
Kritik Terhadap Sistem Pendidikan Partai Politik
Setelah 25 tahun reformasi, ternyata proses konsolidasi demokrasi mengalami sumbatan. Partai politik menjadi salah satu persoalan nyata yang menyebabkan demokrasi berjalan stagnan. Permainan partai politik berbasis transaksional dari kelompok elite partai lebih dominan disbanding optimalnya fungsi-fungsi partai di masyarakat. Partai tidak bermetamorfosis menjadi institusi kuat dan modern, melainkan tetap dengan corak lamanya yang berbasis feodalisme, oligarki dan transaksional. Salah satu dampak nyatanya dapat dirasakan saat penyelenggaraan pemilu lima tahunan seperti saat ini. Partai baru hadir dan melakukan kerja-kerja politik sesaat jelang pemilu. Sehingga muncul kesenjangan antara pemilih dan partai politik. Penyakit turunan dari prilaku ini adalah politik menjadi sangat mahal, asal-asalan dan temporer.
Kenapa pemilih pemula saat ini terkesan apatis bahwan apolitis? Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkannya. Pertama, lemahnya PartyID atau identifikasi kepartaian. Rasa memiliki dan mengidentifikasi pilihannya dengan satu partai tertentu sulit dirasakan oleh kaum muda terutama pemilih pemulak arena banyak diantara mereka yang mempersepsikan partai itu sebagai institusi yang outsider dari mereka. Kedua, persepsi buruk partai-partai di media massa dan sosial media. Tak dipungkiri, kaum mud aitu rata-rata familiar dengan media terlebih sosial media seperti Instagram, facebook, tiktok, twitter, dan sejumlah weblog interaktif lainnya. Sementara pemberitaan politik di media massa dan sosial media tersebut lebih banyak diisi oleh perilaku yang membuat kaum muda skeptis bahkan apolitis, misalnya parade korupsi lintas partai yang setiap saat terpampang di media. Ketiga, minimnya literasi politik yang dilakukan oleh partai kepada pemilih pemula. Jikapun partai dating dan melakukan kerja-kerja nyata di basis pemilih, motifnya tidak lebih dari sekedar pertimbangan pemasaran politik (market politics).
Memperkuat Pengetahuan Pemilih Pemula melalui Literasi Politik
Posisi pemilih pemula harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan menjadi salah satu kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik di level nasional maupun lokal. Caranya, partai, media massa, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pemerintah dan akademisi harus bersama-samaa melakukan pengarusutamaan gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essay on Citizenship (2000), singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Crick menegaskan literasi politik lebih luas dari hanya sekedar pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.
Secara operasional, gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pilkada mendatang melalui pendekatan CFR (conclusion, finding, recommendation), membuat peer group untuk sharing dan melakukan aksi bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di basis-basis pemilih muda, mempublikasikan tulisan terkait harapan-harapan kaum muda, dan membuat jejaring dengan kelompok supra maupun infrastruktur politik dalam aktivitas yang memberdayakan. Selain itu juga bisa melakukan advokasi untuk pemilih pemula, menginisiasi respon opini publik terkait kebijakan publik seputar Pilkada dan mengintensifkan siskusi Pilkada melalui beragam teknologi komunikasi.
Saatnya kaum muda menjadi lebih berdaya dan memiliki sikap yang tegas berbasis pemahaman memadai dalam menentukan suara di Pilkada 2024 mendatang. Satu suara pemilih pemula akan menentukan nasib bangsa ini kedepan. Pemilih pemula bukan lagi masa mengambang yang muda dimanipulasi
Oleh: Christo Aldo Manalu, S.AP – Dhana Arash Consulting