Home - Pemerintah Kota Tebing Tinggi

Selamat Datang

di Website Resmi Pemerintah Kota Tebing Tinggi

DINAMIKA POLITIK PRA DAN PASCA PEMILU 2024 

Dinamika Pemilu 2024, sederhananya melibatkan aktor- aktor tertentu untuk meraih suara massa. Aktor dimaksud, adalah elit politik lokal dan elit non-politik lokal. Elit politik lokal dipahami sebagai seseorang yang menduduki jabatan politik (kekuasaan) di aras lokal, baik di eksekutif maupun di legislatif. Legitimasi kekuasaan yang mereka peroleh berdasarkan pada hasil dari penyelenggaraan pemilu yang berlangsung secara periodik secara demokratis. Kemudian berdasarkan legitimasi tersebut elit politik lokal melaksanakan kebijakan politik di tingkat lokal. Mereka adalah para gubernur, bupati/walikota serta anggota DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. 

Adapun elit non-politik lokal, adalahseseornag yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik seperti ini terdiri atas tokoh agama dan tokoh masyarakat, tokoh organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.(Nursalim dalam Irtanto, 2008). Dalam konteks kota Tebingtinggi, elit politik lokal dan elit non-politik lokal memiliki pengaruh masing-masing dalam dinamika politik Pemilu yang berlangsung pada 14 Februari 2024 lalu. 

Seberapa besar peran masing-masing dalam memengaruhi pilihan rakyat? Artikel sederhana ini, coba memotret dinamika keduanya secara kualititif melalui praktek politik para politisi berdasarkan budaya politik yang mengandung nilai-nilai tertentu yang di anut oleh kedua aktor politik tersebut serta bagaimana respon massa atas perilaku politik keduanya melalui pendekatan struktural.

Praktek Politik Kita Salah satu nilai terpenting yang jadi pesan Reformasi, adalah dihapusnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam penyelenggaraan kehidupan politik, seperti pesan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Undang-Undang ini masih berlaku hingga kini dan tidak dicabut. Namun, peraturan tinggal peraturan, praktek KKN berlangsung seiring dengan bergulirnya penyelenggaraan negara atas nama demokrasi sistem presidensial dan reformasi. 

Era Reformasi yang seyogianya menjadi era koreksi atas perilaku era Orde Baru, kini secara gradual dan terstruktur telah menyontoh tanpa malu-malu praktek-praktek politik kotor Orde Baru yang dulunya begitu dibenci mereka. Sejumlah pakar yang apatis, malah telah sampai pada kesimpulan bahwa praktek KKN ternyata telah menjadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, di mana peraturan yang telah diundangkan tersebut di langgar secara sadar tanpa adanya perasaan malu dan bersalah. 

Dalam telaahan budaya politik, praktek-praktek kotor dalam kehidupan politik kita berlangsung secara top down (dari atas ke bawah), di mana elit politik pusat melakukan praktek tersebut secara terbuka, kemudian dengan sadar diplagiasi oleh elit politik lokal, dengan asas pembenaran dari apa yang dilihatnya di tingkat Pusat. Relasi tersebut dari catatan perjalanan Reformasi, dimulai oleh elit politik Parpol pada tahap awal pemerintahan Reformasi. 

Ketika terjadi praktek tidak sehat dalam alih kepemimpinan di Parpol, di mana harusnya terjadi proses pergantian kepemimpinan sesuai periodenya per 5 tahunan atau boleh ditambah satu periode lagi sebelum kepemimpinan beralih kepada kader lain dari Parpol. Namun, Parpol besar yang menjadi pemenang kontestasi pemilu tidak melakukan hal tersebut dan menjadikan dirinya sebagai ketua seumur hidup serta didukung massa partai. Anomali budaya politik yang tidak sehat itu, kemudian berkembang kepada budaya politik nespotik, di mana banyak pimpinan Parpol mulai membiasakan praktek politik melalui pewarisan jabatan kepada anak dan keturunannya. 

Tanpa merasa melanggar fatsun politik yang di anut selama ini, banyak ketua Parpol yang kemudian mengangkat anaknya melanjutkan tampuk kepemimpinan Parpol. Parpol yang seharusnya menjadi rumah bagi proses pengkaderan dan alih kepemimpinan yang demokratis, justru menjadi perusahaan yang diwariskan secara turun temurun sebagai ladang untuk mengeruk kekayaan, kekuasaan dan kehormatan. Perilaku elit politik di tingkat atas, kemudian mengalami proses transformasi yang kuat di kalangan elit politik lokal. Tidak mengherankan, jika dalam proses suksesi kepemimpinan daerah selama era Reformasi, praktek nespotik itu ditunjukkan secara terbuka tanpa malu-malu. Ada gubernur ketika masa jabatannya habis mencalonkan istri, saudaranya atau anaknya sebagai calon gubernur di periode berikutnya dan mendukung pencalonan tersebut dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang di kuasai elit, guna memenangkan keluarganya pada kontestasi di daerahnya. Hal sama juga terjadi di tingkat kabupaten/kota, bahkan kini merambat hingga ke elit pedesaan. 
Kini di semua level kepemimpinan, praktek nespotik itu dipandang sebagai hal wajar. Padahal, praktek demikian jelas menyalahi peraturan yang dibuat sebagai kesepakatan bersama di awal Reformasi, yakni UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN. Titik kulminasi dari semua praktek penyelenggaraan negara yang tidak sehat dan melanggar UU tersebut, terjadi dalam proses Pemilu 2024, ketika Presiden melakukan rekayasa hukum dalam tahapan Pilpres yang menghasilkan salah satu pasangan calon presiden, yang adalah anaknya sendiri. 

Pasangan Capres yang didukung Presiden dan menguasai sumber daya negara,akhirnya memang menjadi pemenang dalam kontestasi tersebut. Namun, dipastikan akan melahirkan protes keras dari berbagai elemen masyarakat khususnya kelas menengah yang peka terhadap penyimpangan demokrasi, sehingga berefek pada kegaduhan politik. Kenapa demikian? Karena pencalonan ini, sebenarnya terang-terangan melanggar UU No.28/1999, namun praktek menegakkan “benang basah” dilakukan rezim guna memuluskan kebijakan politik menyimpang tersebut. 

Dalihnya, seperti yang diucapkan seorang politisi pusat; “Jika memang pencalonan itu salah, jangan dipilih, namun faktanya rakyat memilih calon tersebut. Artinya rakyat tidak memandang pencalonan itu salah,” demikian Nusron Wahid. Logika fallacy ini, mementahkan asumsi-asumsi pelanggaran konstitusi tersebut, karena didukung oleh rekayasa kekuasaan. Rekayasa pun berlanjut, di mana seluruh birokrasi negara “terpaksa” loyal terhadap kebijakan yang melanggar peraturan serta tunduk terhadap komando dari pemilik kekuasaan tertinggi di pucuk pimpinan negara. Praktek politik yang dilakukan rezim, kini menghadapi proses perlawanan yang terus menguat seiring masa di penghujung kekuasaan rezim. 

Jika di awal kekuasaan, banyak simpul sosial yang mendukung kekuasaan, kini secara perlahan mulai balik melawan. Hal demikian pertanda, adanya ketidak setujuan di kalangan elit politik maupun non-politik terhadap praktek politik yang selama ini mendominasi ruang publik. Artinya, ada eskalasi ketidak puasan di kalangan elit di luar kekuasaan terhadap praktek penyelenggaraan kenegaraan belakangan ini dan memunculkan sikap oposisional.
Budaya Politik Lokal Budaya politik lokal, sebenarnya tidak jauh berbeda dari budaya politik yang tampil di pentas nasional. 

Perilaku politik patront client yang kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa menjadi arus utama dinamika budaya politik bangsa ini. Bahkan di era Reformasi budaya politik patron client menguat seiring dengan kian terbukanya aktifitas politik hingga level paling bawah akiba pengaruh media sosial. Seperti halnya hukum pasar, di mana produk yang paling laris akan mendapatkan saingan dan mitra dalam proses penawaran dan permintaan, maka dalam hukum politik pun hal demikian terjadi. Bahkan, tak jarang pada level lokal, terjadi modifikasi yang intensif ketika fenomena di level nasional menunjukkan kecenderungan-kecenderungan politik tertentu. Kecenderungan politik di level lokal memang menghasilkan variasi-variasi target politik yang lebih lembut, namun juga bisa terlihat brutal. 

Jika di era Orde Baru, patron client mengesahkan adanya hubungan antara sesama melalui jejaring organisasi dan kekaderan atau hubungan antara pejabat politik dengan ajudan, maka saat ini hubungan patront client bergeser lebih dekat yakni pada hubungan kekerabatan. Saat ini, tanpa malu-malu pejabat politik yang menduduki suatu jabatan tertentu secara terbuka dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Misalnya, jika seorang pejabat daerah berkuasa, maka lazim untuk melihat mereka yang menopang kekuasaan tersebut adalah kerabat yang memiliki hubungan darah atau memiliki hubungan perikatan tertentu berdasarkan agama maupun etnisitas. 

Lebih spesifik lagi, jika seseorang menduduki posisi pada jabatan tertentu di suatu instansi, maka tidak mengherankan jika yang mengelilingi pejabat tersebut, hingga ke supirnya adalah orang yang punya hubungan kekerabatan dengan pejabat dimaksud. Jika fenomena “membawa gerbong” itu terjadi di kawasan urban, maka fenomena yang terjadi di kawasan non-urban, yakni pemerintahan kabupaten bisa jadi lebih fenomenal. Struktur pemerintahan di kabupaten bahkan bisa mendekati model kerajaan, di mana penguasa politik terpilih akan menyusun struktur birokrasi daerahnya terdiri atas kerabat, sahabat, kawan dan pendukungnya yang ikut bersamanya berjuang atau mereka yang berkontribusi dalam mendapatkan kursi kekuasaan tersebut hingga ke level paling bawah, yakni kepala desa dan tak terelakkan hingga ke kepala dusun. 

Akibatnya, merid sistem yang selama ini menjadi bagian terpenting dalam rezim demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya di kebanyakan daerah. Dalam konteks demikian, tidak bisa dipungkiri dalam setiap kontestasi daerah, maka keterlibatan birokrasi menjadi sesuatu yang lumrah adanya. Budaya patront client ini, harus diakui kian menguat di era Reformasi, khususnya pada periode ini, agaknya lebih parah dari rezim yang digantikannya. Dengan demikian, budaya patront client dalam sistem politik kita telah merambah hingga ke pedesaan, di mana penerimaan budaya politik sepert ini dilakukan secara sadar oleh elit politik dan menjadi fenomena yang mulai dihalalkan dan dipandang sebagai hal lumrah. Semestinya secara teoritis praktek ini merupakan perilaku haram dan nir-etika dalam sistem demokrasi yang sehat. 

Namun, harus diakui kesadaran masyarakat terhadap anomali demokrasi ini berhadapan pula dengan rendahnya tingkat melek pemahaman terhadap demokrasi serta godaan materi yang sangat dahsyat ditengah kecenderungan terhadap materialisme sesaat. Sogokan politik dalam bentuk pembelian suara rakyat menjadi salah satu relasi yang mengokohkan hubungan patron client antara penguasa dan massa, khususnya massa grassroots. Rendahnya kesadaran politik grassroots harus diakui menjadi titik sentral kian parahnya distribusi politik yang sehat dalam kontestasi Pemilu.

Dalam konteks demikian, ternyata peranan elit non-politik untuk memberikan penyadaran politik kepada massa mengalami kemandegan. Nasehat yang diberikan elit non-politik terhadap massa seolah membentur tembok tebal yang kemudian rontok sebelum mencapai tujuan yang diharapkan. Hal demikian diperparah oleh terbelahnya elit non-politik dalam menghadapi anomali politik ini, karena kepentingan masing-masing. Di belahan lain ada elit non-politik yang berperan menopang kekuasaan nespotik demi kepentingan diri dan kelompoknya, sehingga terjadi benturan kepentingan yang merugikan gerakan elit non-politik. 

Ada banyak varian yang bisa dianalisis untuk melihat terjadinya anomali politik di era reformasi yang mengakibatkan harapan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN, kian menjauh. Kini telah muncul suara-suara yang menginginkan terjadinya reformasi jilid II untuk meluruskan praktek politik rezim reformasi saat ini yang dinilai telah jauh menyimpang.

Fenomena Sekitar Kita Sebagai kawasan urban Kota Tebingtinggi layak dinyatakan sebagai miniatur Indonesia. Berpenduduk sekira 178 ribu jiwa, kota ini merupakan kota multikultural yang diwariskan Kolonial Belanda kepada NKRI pasca kemerdekaan. Sebagai kawasan multikultural, tak ada dominasi kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara alias semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam menyatakan hak politiknya. Kekuatan politik di kota ini terletak pada kemampuan kosolidasi setiap elemen dalam upaya mencapai tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai masing-masing kekuatan politik. Perkiraan tentatif ada sekira 40 persen warga etnis Jawa, sedangkan selebihnya terdiri atas Mandailing, Batak, Tionghoa, Minang, Simalungun, Melayu, Karo, Aceh dan etnis lainnya sesuai komposisinya. 

Mobilissi politik di kawasan urban seperti Kota Tebingtinggi, lazimnya mengalami kegagalan atau tidak berhasil. Namun, perikatan yang berdasarkan pada kepentingan sesaat, biasanya cukup kuat untuk menyatukan kepentingan tertentu, tak terkecuali kepentingan meraih kekuasaan. Sebagai gambaran dalam kontestasi Pemilu 2019 lalu, menunjukkan fenomena di mana berbagai kekuatan etnis memiliki daya tawar yang kuat untuk mendapatkan jatah kekuasaan di level legislatif. Dari 25 kursi yang diperebutkan pada Pemilu 2019, jika dilihat dari komposisi budaya-keagamaan, maka posisi legislator muslim dominan karena mayoritas penduduk kota Tebingtinggi beragama Islam. Akan tetapi kompetitor dari agama non-muslim cukup signifikan sesuai dengan persentase yang ada. Legislator beragama non-muslim mampu mendapat kursi hingga 25% dari keseluruhan kursi yang diperebutkan. 

Dalam konteks demikian, terlihat bahwa kesadaran politik di kalangan non-muslim cukup tinggi di Kota Tebingtinggi, di mana hampir setiap kontestasi Pemilu sejak 2000, legislator non-muslim menunjukkan eksistensinya yang terus menguat, meski diakui harapan mereka untuk mampu mendapatkan salah satu kursi pimpinan di DPRD Kota Tebingtinggi belum tercapai. 

Namun, dalam soal vokalitas dan pembelaan terhadap kepentingan masyarakat, banyak legislator non-muslim yang berada di atas rata-rata. Legislator non-muslim juga mampu memanfaatkan kekuasaan yang mereka kendalikan untuk kepentingan budaya keagamaan mereka. Banyak perayaan-perayaan keagamaan yang selama ini didominasi oleh budaya keagamaan Muslim, belakangan menyeruak dengan kegiatan keagamaan nonmuslim di pusat-pusat keramaian publik. Bahkan pada tahap pembagian kekuasaan di level eksekutif, ada bagian-bagian tertentu dari pimpinan birokrasi yang mampu mereka rebut, khususnya pada wilayah-wilayah strategis. 

Dengan demikian, pertarungan di ruang budaya politik, dinamikanya cukup tinggi meski banyak kalangan elit politik muslim pragmatis yang belum menyadari proses dinamika budaya politik itu sangat berpengaruh. Jika pun punya pengaruh, kebanyakan mereka mendiamkan fenomena itu, dengan mencari alasan “pluralitas”. Kecenderungan hasil politik Pemilu 2024 justru kian mengejutkan. Fenomena money politics terbuka yang demikian kuat, telah memberikan positioning yang juga kuat kepada kalangan non-muslim. Saat ini, dari hasil Pemilu yang diumumkan penyelenggara Pemilu, komposisi kursi yang berhasil direbut legislator non-muslim mencapai 30% yang berarti ada penambahan kursi. 

Diperkirakan, peran politik kalangan minoritas dalam budaya keagamaan semakin signifikan. Gejala ini dalam kajian politik, dipandang sebagai hal yang sah dan dapat diterima, karena di manapun setiap kelompok sosial yang memiliki daya tawar politik, diperbolehkan untuk melakukan berbagai strategi dalam rangka memperkuat posisinya mereka dalam kehidupan sosial-politik di suatu daerah. 

Bukan tidak mungkin jika dalam jangka waktu tertentu kalangan minoritas dapat mengendalikan budaya politik di suatu daerah, jika mereka memiliki seluruh sumber daya politik yang ada dan memobilisasinya secara terencana untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Semoga saja dinamika budaya politik lokal ini kian mendewasakan masyarakat dalam kehidupan politiknya.

 

Penulis : Dr. Abdul Khalik, M.AP, M.Ikom.

Komentar