Semua Bisa Sekolah! Zonasi untuk Pemerataan yang Berkualitas
Upaya pemerintah dalam mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat merupakan amanat dari nawa cita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sistem zonasi merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa zonasi menjadi salah satu strategi pemerintah yang utuh dan terintegrasi. Kebijakan yang mulai diterapkan sejak tahun 2017 yang lalu ini telah melalui pengkajian yang cukup panjang dan memperhatikan rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel. Zonasi dipandang strategis untuk mempercepat pemerataan di sektor pendidikan.
“Sistem zonasi ini merupakan puncak dari rangkaian kebijakan di sektor pendidikan yang kita terapkan dua tahun terakhir ini. Tujuannya untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan, terutama di sistem persekolahan,” ungkap Mendikbud.
Selama ini, menurut Mendikbud, terjadi adanya ketimpangan antara sekolah yang dipersepsikan sebagai sekolah unggul atau favorit, dengan sekolah yang dipersepsikan tidak favorit. Terdapat sekolah yang diisi oleh peserta didik yang prestasi belajarnya tergolong baik/tinggi, dan umumnya berlatar belakang keluarga dengan status ekonomi dan sosial yang baik. Sementara, terdapat juga di titik ekstrim lainnya, sekolah yang memiliki peserta didik dengan tingkat prestasi belajar yang tergolong kurang baik/rendah, dan umumnya dari keluarga tidak mampu. Selain itu, terdapat pula fenomena peserta didik yang tidak bisa menikmati pendidikan di dekat rumahnya karena faktor capaian akademik. Hal tersebut dinilai Mendikbud tidak benar dan dirasa tidak tepat mengingat prinsip keadilan.
“Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. Layanan publik itu harus memiliki tiga aspek, yang pertama non-rivalry, non-excludability, dan non-discrimination. Jadi, tidak boleh dikompetisikan secara berlebihan, tidak boleh dieksklusifkan untuk orang/kalangan tertentu, dan tidak boleh ada praktik diskriminasi. Sistem yang dikembangkan selama ini kurang memenuhi tiga persyaratan sebagai layanan publik itu,” jelas Muhadjir.
Dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit dipandang dapat memperuncing perbedaan dan memperbesar kesenjangan. Hal tersebut, menurut Mendikbud tidak boleh dibiarkan berkepanjangan. Untuk itu, penerapan kebijakan zonasi memerlukan dukungan semua pihak demi tujuan besar jangka panjang. “Ini persoalan persepsi, dan soal mental. Karena itu, sistem zonasi ini juga merupakan bagian dari upaya kita melakukan revolusi mental masyarakat, terutama persepsinya tentang pendidikan,” kata Mendikbud.
Berdasarkan evaluasi tahun lalu, beberapa titik kabupaten/kota/provinsi tertentu belum bisa mengikuti secara penuh peraturan zonasi. Diperlukan beragam penyesuaian dalam penerapan, khususnya terkait perubahan zona. Mendikbud berharap di akhir Juli 2018 Kemendikbud sudah dapat duduk bersama dengan dinas pendidikan kabupaten, kota, dan provinsi untuk melakukan evaluasi penerapan sistem zonasi pada PPDB tahun ini. “Kita akan menyepadankan pelaksanaan sistem zonasi oleh masing-masing daerah. Saya berharap sistem penerimaan siswa baru tahun depan sudah tidak gaduh karena direncanakan sejak jauh hari. Mungkin tidak ada lagi pendaftaran, tetapi cukup penempatan, dan itu sudah diproyeksikan sejak jauh hari,” tutur Guru Besar Universitas Negeri Malang ini.
Terkait tindak lanjut pascapenerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Mendikbud menyampaikan beberapa pokok kebijakan yang mengikutinya. Di antaranya adalah redistribusi guru, baik secara jumlah maupun kualitas. Selain itu, pemerintah akan segera menerapkan kebijakan terkait penataan sekolah. "Kalau ternyata suatu sekolah kelebihan daya tampung, karena siswanya lebih sedikit dari jumlah sekolah, nanti bisa regrouping," ujarnya.
Mendikbud juga menegaskan bahwa sistem zonasi juga merupakan upaya mencegah penumpukan sumber daya manusia yang berkualitas dalam suatu wilayah tertentu. Dan mendorong pemerintah daerah serta peran serta masyarakat dalam pemerataan kualitas pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “Kita bisa lihat tingkat pemerataan guru, baik jumlah maupun tingkat kualifikasi. Tidak bisa dibiarkan ada satu sekolah yang isinya hanya satu guru PNS, dan ada sekolah yang isinya guru-guru PNS bersertifikat," tegasnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Hamid Muhammad menyampaikan bahwa kebijakan zonasi akan memberi manfaat cukup luas dalam restorasi sekolah. "Pemanfaatan zonasi akan diperluas untuk pemenuhan sarana prasarana, redistribusi dan pembinaan guru, serta pembinaan kesiswaan. Ke depan, sistem zonasi bukan hanya untuk UN dan PPDB, tetapi menyeluruh untuk mengoptimalkan potensi pendidikan dasar dan menengah," jelas Dirjen Hamid.
Ekosistem Pendidikan
Sistem zonasi, menurut Muhadjir dapat menghadirkan populasi kelas heterogen, sehingga akan mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran di kelas. Ia menegaskan, populasi yang ada di dalam sebuah kelas harus heterogen. “Salah satu arah kebijakan zonasi ini adalah meningkatkan keragaman peserta didik di sekolah, sehingga nantinya akan menumbuhkan miniatur-miniatur kebinekaan di sekolah kita,” ujarnya.
Mendikbud mengingatkan pentingnya penguatan tripusat pendidikan. Terwujudnya ekosistem pendidikan yang baik menjadi tujuan jangka panjang yang ingin dicapai melalui kebijakan zonasi. Peranan sekolah, masyarakat, dan keluarga, dipandang sama penting dan menentukan keberhasilan pendidikan anak. “Inilah inti ekosistem pendidikan. Tugas kita adalah membangun lingkungan pendidikan yang baik, di mana ada hubungan positif antara sekolah, masyarakat dan keluarga sesuai dengan filosofi bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara,” tuturnya.
Meskipun kewenangan pendidikan dasar dan pendidikan menengah telah dibagi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diharapkan kerja sama antar pemerintah kabupaten, kota, dan pemerintah provinsi tidak terbatasi sekat-sekat birokrasi. Masing-masing pemerintah daerah sesuai kewenangannya diperkenankan melakukan penyesuaian kebijakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada untuk pelayanan publik yang baik. "Zonasi ini melampaui wilayah administrasi. Karena itu perlu ada kerja sama antara dinas pendidikan pemerintah kabupaten/kota, maupun provinsi untuk menetapkan zona. Dengan zonasi, pemerintah daerah sejak jauh hari sudah bisa membuat perhitungan tentang alokasi dan distribusi siswa," terang Mendikbud.
Kebijakan zonasi pada penerimaan peserta didik baru diatur di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 yang menggantikan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB. Di dalam pasal 16 disebutkan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Adapun radius zona terdekat ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi berdasarkan ketersediaan anak usia Sekolah di daerah tersebut; dan jumlah ketersediaan daya tampung dalam rombongan belajar pada masing-masing Sekolah.
Pada pasal 19, Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 mengamanatkan sekolah yang dikelola pemerintah daerah untuk mengalokasikan tempat (kuota) dan membebaskan biaya untuk peserta didik dari kalangan keluarga tidak mampu, sebesar minimal 20 persen kepada peserta didik dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 pasal 53 tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang merupakan turunan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Diharapkan, hal ini dapat mengurangi jumlah anak putus sekolah atau anak tidak sekolah (ATS) di masyarakat. Sejalan dengan kebijakan zonasi, pemerintah juga terus menjamin hak layanan dasar masyarakat tidak mampu melalui Program Indonesia Pintar (PIP) yang meringankan biaya personal pendidikan. Selain itu, pemerintah juga terus meningkatkan jumlah dan komponen penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Sebagaimana diketahui, berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), tiga tahun terakhir Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami peningkatan; angka IPM dari 68,9 di tahun 2014 menjadi 70,8 di tahun 2017. Adapun sumbangsih sektor pendidikan yang dapat dilihat adalah meningkatnya Rata-rata Lama Sekolah dari 7,73 tahun (2014) menjadi 8,10 tahun (2017), serta angka Harapan Lama Sekolah dari 12,39 tahun (2014) menjadi 12,85 tahun (2017). Sedangkan, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah meningkat dari 74,26 menjadi 82,84 (2017), dan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan menengah meningkat dari 59,35 menjadi 60,37 (2017).
Ombudsman Republik Indonesia mendukung penerapan zonasi untuk pemerataan pendidikan. "Kami menghargai dan mendorong untuk penerapan zonasi ini. Sistem sebelumnya, adanya favoritisme sekolah itu bukan saja menimbulkan ketidakadilan namun juga menjadi sumber korupsi dan membangun segregasi yang menurut saya sangat membahayakan," kata Komisioner Ombudsman, Ahmad Su'adi.
Senada dengan Ombudsman, anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), My Esti Wijayati, menyampaikan bahwa zonasi menjadi bagian dalam mewujudkan ruang keleluasaan bagi mereka yang tidak mampu untuk mendapatkan akses pendidikan yang memadai. “Seperti dalam rapat kerja yang dilakukan dengan kami tahun 2017, Mendikbud telah menyampaikan konsep zonasi. Kami memang memandang sistem zonasi adalah sistem yang baik yang bisa kita lakukan secara lebih luas, dan tahun ini pelaksanaannya jauh lebih baik,” katanya. (*)
**disiapkan oleh Tim Komunikasi Pemerintah Kemenkominfo dan Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud